Senin, 03 November 2014

Sertifikasi guru...

Sertifikasi guru, katanya adalah penghargaan dari pemerintah bagi para guru.

Nominalnya cukup lumayan. Menggiurkan. Dengan mengesampingkan segala masalah yang muncul dalam proses pencairan dananya. Uang sertifikasi ini sangat membantu. Ayah saya sudah merasakan manfaatnya, menjelang masa pensiunnya.

Saya, masih muda dan tanpa pengalaman yang cukup untuk mendapatkan tunjangan profesional itu. Jadi saya hanya biaa melihat keripuhan para rekan lain yang sedang dalam proses penilaian kinerja guru untuk kepentingan cairnya tunjangan tersebut bulan depan. Saya perhatikan hampir sebagian besar waktu mereka tersita untuk mengisi segala perentelan dan tetek bengek pkg itu.

Saya hanya merasa, bukankah lebih baik waktu mereka digunakan untuk pengembangan diri dan persiapan pembelajaran? Dari pada mengisi segala form penilaian yang merepotkan yang pada akhirnya cuma jadi setumpuk berkas yang dilihat kelengkapannya saja?

Mungkin ada cara lain untuk PKG, saya pikir bisa bekerja sama dengan pihak sekolah untuk melakukan super visi oleh kepala sekolah dengan standarisasi instrumen yang terintegrasi. Atau dengan sistem inspeksi terintegrasi. Rasanya terlalu muluk2. Entahlah. Mungkin juga ini hanya pandangan saya. Saya terbuka untuk melihat dari kaca mata lain.

Jumat, 31 Oktober 2014

Menemukan semangat yang sempat terhilang.

Gue hampir benar-benar melupakan alasan kenapa gue begitu bertahan di dunia pendidikan. Alasan kenapa ketika ditanya mau mendapatkan gelar master di bidang apa, gue menjawab "psikologi anak atau keluarga"

Dan akhirnya diingatkan lagi. Sekarang gue tau kenapa... kenapa gue ditempatkan di tempat gue sekarang adalah untuk mengingatkan gue tentang alasan gue bertahan menjadi ikan kecil di kolam besar berjargon pendidikan ini.

Gue menikmati kegiatan tadi, total chaos memang kalau dilihat dari luar.. gue dikelilingi anak2 dengan kategori nakal dan bernilai rendah untuk belajar dalam kelompok kecil. Gue merasakan kepuasan yang sudah lama hilang. Lama banget. Gue selama 2 tahun terakhir tersesat dalam belantara kolam besar dengan sirip ikan kecil yang kehilangan fokus dan passion. Sungguh menyedihkan.

Senangnya, gue sungguu bersyukur. Gue akan lebih berusaha. Semoga fokus dan passion gue nggak kabur lagi.

Selasa, 15 Juli 2014

Dari 2064 mdpl, gunung Burangrang.

Well... cukup lama tidak posting blog.
Beberapa waktu yang lalu saya dan beberapa teman memutuskan untuk menjajal 'gunung belakang kampus'. Gunung Burangrang.

Gunung ini nggak begitu tinggi, 2064 mdpl tapi jalur pendakiannya cukup yahud.

sebelah jalur langsung jurang bro.... ini waktu turun siang-siang
Saya dan tiga orang teman saya berangkat. Meleset dari rencana awal yang akan berangkat siang hari, akhirnya kami melakukan pendakian malam. Beranjak dari titik awal di Kabupaten Bandung Barat pukul 18.17 kami tiba di puncak sekitar pukul 22.30

Ini bukan kali pertama saya mendaki gunung, tapi ini kali pertama saya mendaki dengan kondisi tubuh yang tidak fit dan tanpa perhitungan matang. Saya sedang dalam pengobatan sinusitis dan melakukan pendakian malam yang jelas-jelas mengharuskan saya untuk rebutan oksigen dengan tumbuhan. Jadinya, mau nggak mau, rela nggak rela saya mengalami gagal nafas.

Pendakian kali ini menjadi pengalaman pertama saya menjadi beban. Yah, semacam dead body, atau chain and ball dalam tim. Bisa dibilang dengan tipe darah O, dan kepribadian dominan. Saya adalah tipe yang tidak suka menyusahkan dan disusahkan oleh orang lain. Dan kali ini, luar biasa, saya harus berperan jadi beban.

Belum sampai setengah jam awal pendakian, saya sudah mengalami gejala gagal nafas. Saya harus berhenti untuk mengatur ritme nafas. Makin lama, makin parah, hampir setiap lima menit sekali saya harus berhenti sejenak untuk mengatur ritme nafas. Kondisi makin diperburuk dengan turunnya hujan lebat disertai angin yang cukup kencang. Sinus saya mulai berdenyut-denyut nyeri, berakibat saya mengalami nyeri kepala yang agak mengganggu. Kekhawatiran saya adalah, nyeri sinus ini memicu vertigo, dan gagal nafas ini memicu arrythmia.

Saya mencoba menghalau kemungkinan-kemungkinan itu dengan mengaplikasikan semua ilmu pernafasan yoga yang pernah saya pelajari. Syukur, saya berhasil sampai puncak dan turun lagi tanpa banyak masalah dan bisa berbagi sekarang.

Yang paling saya syukuri adalah teman-teman saya dalam pendakian. Sebut saja mereka BAN, RZ, dan RF. Banyak pelajaran berharga dan kejadian yang membuat saya semakin menghargai mereka sebagai sahabat saya yang berharga. Mereka tidak mengeluh karena kerepotan yang saya timbulkan karena harus berhenti secara berkala, RZ yang bersedia bertukar tas dengan saya. RF yang berjalan bersama saya dan tetap berhenti walau saya tahu carrier yang dia bawa berat pake banget. BAN yang akhirnya menggunakan webbing sebagai pegangan yang ceritanya untuk menarik kami, walau sebenarnya tidak efektif karena keripuhan kami dengan senter dan jalur licin.

Yang paling saya hargai adalah mereka bertiga nggak mengeluh. Saya nggak tahu dalam hati mereka mengeluh atau nggak, tapi yang jelas mulut mereka tidak melontarkan apapun yang negatif saat itu. I'll treasure them as my lifetime friends.

Dan banyak yang gue pikirkan selama perjalanan hampir mematikan buat gue saat itu. Tentang kehidupan dan persahabatan.

Saat sampai puncak, gue disuguhi pemandangan dua buah kabupaten yang sangat keren, kabupaten Purwakarta dan Bandung Barat. Great view, great air, fresh morning. dan DINGIN~

Tapi yang nggak akan gue lupakan seumur hidup adalah perjalanan naik yang menyiksa tapi nikmat itu, dan apa yang udah temen-temen gue lakuin buat gue.
I LOVE YOU, GUYS.
they are trully BFFs! asa spongebob? bae ah.. :D waktu turun ini.


Jumat, 09 Mei 2014

Yang Hilang dalam Penyederhanaan

Generasi yang sekarang adalah generasi Google, dengan dua ciri utama yaitu; empati yang sangat minim dan kebingungan dalam memilah informasi atau pengetahuan

-Prof. Dr. Daoed Joesoef, mantan Mendikbud Indonesia-

Tadi malam, saya menonton sebuah acara forum bicara yang sekilas terlihat sangat monoton. Peserta forum itu adalah empat orang purna usia, dengan teknik pengambilan gambar (ya, acara ini tayang di tv negeri) seadanya dan nggak banget deh.

Para purna usia itu saling mengobrol dengan santun, tanpa saling menyela satu sama lain meskipun memiliki pandangan yang berbeda satu sama lain. Tapi bukan itu yang membuat saya tertarik untuk menonton mereka. Saya berhenti dari kegiatan menggonta-ganti channel dengan bosan karena saya membaca tema yang mereka bicarakan "PENDIDIKAN"

Salah satu topik yang mereka bicarakan adalah tentang generasi muda masa kini, "GENERASI GOOGLE" begitu mereka menyebutnya. Generasi yang menempel dengan gadget mereka tanpa memperdulikan orang lain dan mulai meninggalkan interaksi sosial demi interaksi sosial yang semu. Generasi yang kesulitan dalam membedakan informasi dan pengetahuan. Mereka mengganggap semua informasi yang disediakan di internet, yang bisa mereka dapatkan dengan mudah dengan mengetik di mesin pencari semacam GOOGLE adalah pengetahuan dan merasa bangga akan hal itu, padahal itu adalah sekedar informasi. (Prof. Dr. Daoed Joesoef)

Saya banyak berpikir tadi malam, akhirnya saya jadi menyetujui pendapat beliau. Mungkin saya pun bisa dikatakan sebagai generasi GOOGLE. Saya tak bisa membedakan pengetahuan dan informasi. Faktanya, saat saya mendengar pernyataan beliau, saya buru-buru meraih KBBI dan mencari arti kata pengetahuan dan informasi. Saat selesai membuka kamus, saya tertawa miris, menertawai diri sendiri. Pembelaan saya terhadap diri saya sendiri adalah GOOGLE pun bisa menyediakan pengetahuan, tergantung sikap kita menyikapi informasi yang tersedia. Pengkajian dan pemikiran berulang tentang suatu informasi dapat mengubah informasi itu menjadi pengetahuan. Well, tapi itu hanyalah pembelaan dari diri saya terhadap diri sendiri, saya belum menyandang gelar apapun, tidak juga melakukan pengkajian apapun untuk membuat pembelaan tadi menjadi suatu pernyataan yang valid.

Lalu masalah berkurangnya empati. Saya melihat banyak kasus yang mengarahkan saya pada kesimpulan bahwa anak-anak generasi GOOGLE cenderung memandang suatu hal dari satu sisi, dengan mengabaikan fakta bahwa setiap hal memiliki banyak sudut pandang. Contoh saja, sebuah kasus yang baru-baru ini meramaikan dunia maya. Kasus tentang seorang pemudi yang mengeluh di media sosial tentang ibu-ibu hamil yang manja dan meminta tempat duduk yang sudah susah payah ia perjuangkan. Ia memandang kasus itu dari sudut pandangnya sendiri tanpa memikirkan sudut pandang lain dan lalu mengeluh dengan membabi buta. Jika saja, ia dapat memikirkan minimal dua sudut pandang lain, saya yakin ia tidak akan mengeluh tentang hal itu.

Kasus lain; Suatu siang ketika saya dalam perjalanan pulang, terjadi kecelakaan di jalan raya. Kecelakaan itu melibatkan dua buah sepeda motor. Ketika saya sibuk membantu korban kecelakaan bersama beberapa orang tua yang ikut berhenti, saya melihat anak-anak berseragam abu-abu ikut sibuk di pinggir jalan. Tebak? Mereka sibuk memotret kami dan mungkin langsung mengunggahnya di sosial media mereka.
Dunia ini sudah mulai dipenuhi orang-orang bodoh dengan gadget pintar.

Saya adalah produk dari generasi peralihan, saya menghabiskan masa kecil dididik secara Dharmati (Dharma Society) dan masa remaja akhir memasuki era Digerati (Digital Society) (meminjam istilah J. Sumardianta). Saya tidak memungkiri, saya pun sangat memerlukan gadget-gadget pintar. Saya tidak bisa menghindari gadget-gadget pintar.
Karena saya adalah produk dari masa peralihan ini, saya menyadari beberapa hal. Hubungan antara manusia adalah hal yang kompleks dan menuntut dan Gadget menyulap relasi tersebut menjadi lebih mudah, sederhana, dan menyenangkan. Namun, pasti ada hal yang hilang dalam proses penyederhanaan. Dalam hal relasi antar manusia ini, banyak yang hilang.

Para purna usia yang membahas hal ini tadi malam, memberikan sebuah solusi bahwa pendidikan harus lebih maju dalam mengatasi hal ini. Dengan Pendidikan, mereka bukan menunjuk sebuah lembaga pendidikan yang disebut sekolah, tapi integrasi pendidikan mulai dari komunitas sosial paling awal dan utama, keluarga. Sangat disayangkan, tidak banyak yang menyadari pentingnya hal ini. Apakah sampai terlambat, baru semua orang akan menyadarinya? Tentang hal-hal yang hilang dalam proses penyederhanaan jaman digital...

Well, I'm curious...

Kamis, 03 Oktober 2013

Mentalitas Padang Gurun #3

"Saya ga sanggup, semua ini terlalu sulit. Permudah saja jika bisa"

Sering banget, terlampau sering, kita mikir bahwa keadaan terlalu tidak mendukung, atau suatu masalah terlalu sulit untuk kita tangani. Bisa dibilang, seperti kalah sebelum berperang.

Pengalaman saya adalah merasa takut terhadap suatu matakuliah, karena orang-orang bilang itu matakuliah sulit, rumit, dsb. Setelah dicoba? Well, ternyata terlalui juga.

Dari situ saya mulai belajar, tak ada hal yang terlalu sulit atau terlalu rumit untuk ditangani. Masalahnya adalah berapa besar harga yang harus dibayar untuk melaluinya.

"Bagaimana bila harga yang harus dibayar terlalu besar?"
Tak ada hal yang terlalu besar atau terlalu mahal buat diri kita, karena apa yang akan kita dapatkan adalah sebanding. Hanya perlu bersabar, apakah hal itu kita dapatkan langsung, di masa depan, atau untuk masa yang lebih jauh, masa 'life after life'

Tentang keterbatasan. Sebagai manusia yang terbatas, saya mengakui kadang tubuh dan pikiran kita mencapai batasan tertinggi kejenuhan. Tapi, ada Roh yang tidak terbatas apapun. Saya bukan bicara tanpa dasar, memang belum melakukan penelitian ilmiah tentang ini, tapi sudah melakukan pengamatan. Misalnya, ketika kita menyukai sesuatu, katakanlah berenang, walau lelah, jenuh, dsb ketika diajak berenang, pasti lupa sama keluhan2 tadi. Contoh lain, pulang kantor, capek, pegel, eh.. Ceweknya telpon minta jemput... Langsung cuss kan?
Nah, keadaan biasanya akan jadi sulit jika kita berusaha melakukan sesuatu dengan bebas tanpa mengandalkan pertolongan 'Roh' yang ada dala diri kita. 'Roh' siapa? Ya itu introspeksi aja sendiri.. Hahaha v( ‘.’ )v

Selain itu, perlu juga bersikap tegar. Kehilangan semangat dan lesu bukanlah pilihan, karena dalam usaha kita memahami 'mengapa semua ini sesukar ini' hal tersebut adalah pilihan paling mudah. Kehilangan semangat lalu menyerah, dan bye! Nggak banget kan?

Nah, dari situ saya sendiri sadar, perlu banget yang namanya mental pemenang. Mental pemenang itu bukan bakat bawaan lahir, tapi bentukan. Komunitas yang benar, pembaharuan kebenaran tiap hari, dan pengalaman dengan Tuhan.

Mulai dari mana? Mulai dari berhenti menjadi 'perengek' pada hari Senin. Hahaha so simple.. :p


Coming soon, mentalitas padang gurun #4

Mentalitas Padang Gurun #2

"Seseorang akan Melakukannya untukku, Aku Tidak Perlu Bertanggung Jawab"

Tanggung jawab sering banget dianggap beban, terutama oleh kita-kita yang baru napak di panggung kedewasaan. Mungkin seringkali digambarkan sebagai belenggu, bola dan rantai besi yang membatasi gerakan kita.

Beberapa dari kita, bisa berdamai dengan "tanggung jawab" si bola dan rantai besi itu, sehingga dari bola dan rantai besi itu tumbuh sayap yang membawa kita terbang tinggi. Tapi ga sedikit juga, kita-kita yang malah menyeret bola dan rantai itu ke tengah2 lumpur hisap, yang bikin kita terbenam dan makin terbenam tiap hela nafas.

Bagaimana kalo kita selama ini salah? Jika ternyata, tanggung jawab bukanlah unsur external seperti bola dan rantai yang bukan bagian dari tubuh kita tapi membelenggu?

Tanggung jawab itu masalah internal sob. Tanggung jawab bisa dibilang adalah RESPON kita terhadap peluang. Bertanggung jawab adalah menanggapi kesempatan yang disodorkan pada kita dengan benar.

Ketika disodori kesempatan, respon pertama biasanya adalah excited, antusias, bersemangat, dkk. Mudah untuk bersemangat dalam menanggapi kesempatan baru, kenapa? Karena hal itu baru, mendebarkan, dan adrenalin pasti berlipat. Respon ini benar, jika bukan hanya euforia sesaat, maka respon selanjutnya yang menentukan.

Saat antusiasme awal mulai meredup dan adrenalin mulai merosot, Apa Respon kita? Peluang sudah digenggam, tapi akankah dilepas begitu saja?
Banyak hambatan yang akan menghalangi kita untuk tetap merespon peluang itu dengan benar;

Gaya Hidup Malas
Seringkali kita harus didorong2, dibujuk2, dan diawasi oleh orang lain agar malakukan segala sesuatu dengan benar. Jelas, jika seperti itu, tak akan ada perkembangan yang terjadi pada diri kita, karena pengawasan dan dorongan kita berasal dari manusia lain dengan standar manusia, padahal ada 'Standar' yang lebih tinggi yang sudah ditetapkan pada kita. Yang harus dilakukan adalah lebih mengenal 'Standar' itu.

Tidak Serius
Ungkapan "ciyusss" sempat populer belakangan ini, dikalangan anak gaul masa kin haha.. Tapi, jika hanya sebatas "ciyussss" tapi tidak memberikan 100% fokus kita, satu kata dari saya, "bye!" Bye! Guys, seriously, you'll stuck on that point and never ever ever get to anywhere.

Menunda
Dulu, saya pernah berpendapat, "jika bisa besok, mengapa harus hari ini?" Dan taukah? Besok itu tak pernah ada. 'Besok' itu ilusi, karena yang ada adalah hari ini, saat ini. Saat waktu yang kita sebut 'besok' menjadi hari ini, 'besok' adalah 'besok'. Bingung? Begini deh, 'besok' itu seperti wortel yang diikat didepan keledai, mau dikejar kayak apa tetap aja ada di depan.

Tidak Siap
Selalu ada banyak kemungkinan dala setiap perkara. Apa salahnya bersiap? Lakukan tugas yang memang seharusnya kita lakukan, agar saatnya tiba, semua sudah siap. Sudah beres.

Tidak menggunakan potensi secara maksimal
Under estimate pada diri sendiri. Padahal, punya potensi yang sangat besar dan dapat dilipat gandakan. Kenapa tidak digunakan?

Begitulah, hal-hal yang biasa menghambat secara umum. Tapi bagaimanapun, respon adalah pilihan kita. Wajar, jika tersergap kekhawatiran dalam proses, apalagi dalam hal yang sama sekali kita ga ada bayangan. Tapi, serahkan kekhwatiran kita, bukannya menyerahkan tanggung jawab.
Ayo bertanggung jawab :D :D :D

*coming soon mentalitas padang gurun #3

Mentalitas Padang Gurun #1

"Masa depanku ditentukan oleh masa lalu dan masa kini"
Adalah benar jika kita berpendapat bahwa, hari ini berdiri diatas kemarin, dan hari esok berdiri diatas hari ini. Tapi, apakah masa depanmu ditentukan oleh masa lalu dan masa kini?

Saya rasa tidak. Memang, terkadang saya harus menanggung konsekuensi dari tindakan dan keputusan di masa lalu, tapi itu tidak menjadi masa depan saya. Itu adalah tanggung jawab dan bagian dari integritas diri.

Latar belakang, cara kita dibesarkan, kesalahan-kesalahan, kepribadian, kehidupan di masalalu pernah jadi bagian identitas kita. Tapi, terimalah kebenaran bahwa kita dibebaskan untuk menjadi pembebas.

Mulailah sebuah visi positif atas hidup, dan membina gaya pikir yang baru. Segala sesuatunya memang kadang terlihat mustahil, tapi ketahuilah, kita berbakti pada Tuhan yang menciptakan segala sesuatu dari kehampaan. Serahkan kehampaan kita, dan ikuti tempo kerjaNya.

Mata untuk melihat dan Telinga untuk mendengar. Pertanyaan, melihat apa? Mendengar siapa? Pilihan yang harus dibuat adalah melihat dan mendengar 'idola' yang diciptakan dunia atau 'idola' sejati?

Sikap negatif terhadap diri sendiri dan masa lalu, pikiran yang buruk, tanpa sikap berterima kasih, perselisihan, dan iri hati, jika direnungkan akan membawa kita pada satu kesimpulan, bahwa sebenarnya tidak ada masalah yang terlalu rumit, hanya saja diri kitalah yang menjadi masalah terumit.

Sekarang, "menengadah"lah dan tatap masa depan dengan cara yang positif dan antusias.


*Mentalitas padang gurun #2 coming soon

About Me

Foto saya
Bandung, West Java, Indonesia
Thinking crazy, weird and uncommon is not a crime!