Selasa, 08 Juni 2010

Terites : Glukosa dari lambung hewan

Manusia makan rumput? bisa aja. Masalah utamanya adalah; Bisakah manusia mencerna selulosa rumput? Jawabannya: Tidak. Manusia tidak memiliki enzim Selulose untuk mencerna selulosa. Jadi, bila manusia memakan rumput utuh-utuh, rumput tersebut akan keluar utuh-utuh juga. hehehe.. agak-agak menjijikkan emang.

Ternyata, suku karo telah lama memiliki solusi dari permasalahan itu. Pada hewan ruminansia; tepatnya di lambung pertama, selulosa dari rerumputan yang mereka makan sudah terurai menjadi karbohidrat-glukosa. Sehingga, rerumputan yang di makan oleh hewan seperti sapi atau kambing itu sudah bisa dicerna oleh pencernaan manusia.

Suku karo mengolah isi lambung pertama hewan ruminansia itu menjadi suatu olahan makanan yang bernama terites atau pagit-pagit atau lazimnya disebut soto karo.

Terites atau pagit-pagit sendiri merupakan olahan murni rerumputan dari lambung pertama sapi/kambing yang diramu dengan berbagai macam rempah-rempah yang beraneka ragam (mengenai resep terites sendiri akan dibahas pada postingan khusus). Cita rasa terites sendiri sangat mmm... uenakkkk.. jangan bayangkan bahwa bahan utamanya adalah kotoran sapi, karena seperti yang sudah dijelaskan bahwa, pencernaan yang berlangsung di tubuh sapi/kambing baru melalui tahap penguraian selulosa. Jasi, belum sampai ke usus besar dan belum menjadi kotoran.

Bagi yang tak ingin ketagihan pada makanan ini, sebaiknya jangan sekalipun mencoba makanan ini. Karena terites memiliki cita rasa tersendiri yang membuat orang-orang ketagihan.Sekali coba, ingin lagi-lagi-lagi dan lagiii...

Sedangkan Soto Karo, sama halnya seperti soto-soto daerah lain, berisi bihun, kol, irisan daging ayam atau babat atau kikil. Bedanya adalah kaldu yang digunakan. Soto pada daerah lain menggunakan kaldu murni atau kaldu dengan campuran air santan kelapa untuk menambah gurihnya cita rasa. Soto medan, menggunankan air sari terites untuk menambah cita rasa yang khas.

Terites juga dipercaya dapat menyembuhkan penyakit maag. Selain itu, kandungan Tanin dalam terites dapat menolong dalam pengobatan beberapa penyakit. Tertarik?

Makanan yang menggoda bukan? Tapi, sayang terites, mulai dilupakan bahkan oleh kalangan suku karo sendiri. Terutama, suku karo yang sudah tinggal di perkotaan. Namun, dapat dipastikan, Umumnya orang karo memiliki pengetahuan tentang makanan ini.

Sabtu, 05 Juni 2010

Karang nini Legend


Once upon a time, there was a village named Emplak or Karangtunjang. There, lived a couple of grandparent (aki {grandpa} and nini {grandma} in sundanese). The Grandma is Ambu Kolor and The Grandpa is Arga Piara. They were living in an eternal love bond. Aki loved fishing so much. Some day, Aki is going fishing on the sea and not ever came home. meanwhile, Nini was woried and waiting aki to come home

The day was passed by but Aki not coming home yet. Nini was impatient by her worries anbout Aki. So, Nini decided to wait Aki in the shore. But unfortunatelly, Aki was never came home

In the shore, Nini was shouting Aki's name desperately but her voice was vanished by wave thundering. Their neighbours who were helping Nini searching Aki, were tired and going home. Nini was left alone in the shore.

With her divine power, Nini was begging to the Queen of south sea, Nyi Roro Kidul, as the Queen could make her met Aki again.

Her wishes is granted. Then, Appeared a floating reef, which is Aki's body tarnsformation. (Now, that reef is called Bale Kambang. If you stand on this reef you'll fell like floating)

As her allegiance and love, Nini was never leaving the reef, and she is praying to the lord for she could always be next to Aki. Her prayer was granted, then, Nini's Body was changed to be a reef which is facing the Bale Kambang Reef. Then people named that reef Karang Nini.

Centuries was passing , the two corals which is facing each other, stand still firmly. And the two corals are being symbol of love and loyalty . Unfortunately, at 1918, the reef part, (nini's head part) is broken off by a thunder strike, and abration make the reef more smaller than ever.

Kamis, 03 Juni 2010

Sebuah Tradisi Klasik dari sudut Sumatera Utara

Sebuah tradisi klasik dari sudut kampung kecil di sumatra utara. Mengeramasi tengkorak, atau dalam tradisi kami, disebut "mangiri" yang dimbil dari bahasa karo dengan arti mengeramasi.

Tradisi ini, biasa dilakukan oleh keturunan raja, (yang sekarang telah menjadi tengkorak di gambar) untuk meminta berkah. Misalnya, meminta keturunan rejeki dan sebagainya. Tapi, sebagai manusia beragama, tentu saja kita harus tetap meyakini bahwa segala berkat dan rahmat hanya dari Tuhan.

Suatu kepercayaan yang belum dapat terbantahkan karena diiringi suatu fakta bahwa, tak peduli sedang kemarau sepanjang apapun, bila tengkorak-tengkorak ini dikeluarkan untuk di"pangiri" maka akan turun hujan deras setelahnya.

Prosesi dimulai dengan mengeluarkan tengkorak raja pak-pak serta kedua isterinya. Kemudian juru kunci akan membaca doa-doa sambil meracik ramuan (yang mungkin bisa disebut shampo?) yang terbuat dari berbagai macam daun, akar dan rempah-rempah.

Kemudian, semua keturunan sang raja berbaris lalu mengusapkan ramuan tersebut sebanyak 3 kali, sambil mengucapkan permintaan ataupun doa-doanya.

Sebenarnya, ini bukanlah hal yang baik menurut sudut pandang agama, tapi menurut sudut pandang adat ini adalah hal yang wajib.. ya jadi anggap saja kita melakukan ini untuk melestarikan budaya. jadi ngeramasinnya ngga usah sambil minta-minta, betul?! (ayah saya melakukan semua ini ketika dia pulang ke medan beberap[a waktu lalu, beliau ngeramasin tengkorak ini sambil bilang dalam hati, "ya Tuhan, kalo ini salah maafin aku" ngakak gw ngedenger ceritanya. Untung waktu itu gw kagak ikut pulang kampung.)

About Me

Foto saya
Bandung, West Java, Indonesia
Thinking crazy, weird and uncommon is not a crime!