Kamis, 03 Oktober 2013

Gratisan dan Tanggung Jawab

"Yang gratisan tuh yang paling enak"
"Gratis ini, nothing to lose lah"

Kalimat-kalimat di atas, cukup akrab ditelinga, apalagi semenjak memasuki kehidupan mahasiswa yang maha irit. Haha..

Selama ini, kalimat-kalimat tentang 'gratisan' gak pernah terlalu menggelitik untuk gue bahas. Tapi, suatu kejadian di suatu sore yang cerah, membuat gue tertarik.

Kejadiannya begini, adik gue yang saat ini kelas 6 SD, ngambek dan menolak setengah mati, waktu disuruh belajar. Sampe nangis-nangis. Padahal, gue dengan bersemangat bersedia untuk jadi tutor dia, disela-sela waktu gue yang sangat langka ada di rumah. Gue tau, dia memang pintar dan kemampuan belajarnya jauh di atas rata-rata. Tapi, practice makes perfect, right? Selama bisa belajar lebih kenapa harus membatasi diri? Lagian jarang-jarang gue ada di rumah dan jadi tutor dia.

Karena sampai terjadi pertumpahan air mata, akhirnya emak turun lapangan. Dengan bijak beliau berkata pada ade gue, "Iel, untung loh.. Orang-orang berani bayar mahal kakak untuk ngajarin. Iel gratisan malah nggak mau."

Dari situ, gue tertarik sama kata 'gratisan'. Gue jadi teringat sama makhluk-makhluk yang ngakunya pelajar tapi saat jam sekolah malah nongkrong di sudut-sudut tertentu sambil bakar rokok dengan gaya paling oke sedunia. Padahal masih pake celana biru atau abu-abu, bahkan beberapa masih merah.

Pemerintah udah netapin program 'wajar 9 tahun' dan katanya akan dikembangkan jadi 'wajar 12 tahun', which is mean, sekolah gratis untuk semua sekolah negeri dari tingkat dasar sampai menengah pertama.

GRATISAN cooy.. Tapi, kelihatannya malah menghilangkan tanggung jawab ya. Mungkin, beberapa berpikir 'nothing to lose' kali ya.. Karena gratis, tak ada beban yang ditanggung.
Karena gratis, ya santai aja, orang tua juga ga akan nuntut apa-apa.
Karena gratis, tenang saja, nambah setahun lagi juga ga rugi-rugi amat.
Karena gratis...

Sejujurnya, tiap kali bertemu dengan pelajar tipe itu, gue pengen nimpuk kepala mereka pake telur, sambil bilang "Ini kepala isinya apa sih?" Tapi, berapa banyak telur yang bakal gue butuhkan? Mungkin persediaan telur kota bandung untuk satu tahun pun ga cukup. Karena populasi makhluk yang ngakunya pelajar itu terlalu banyaaaak.

Gue bukan mau bilang bahwa pendidikan dan bersekolah itu diatas segalanya, kok. Secara jujur gue juga mengakui, kadang di kelas gue ga dapet apa-apa, kadang yang gue dapet juga cuma teori-teori yang nggak napak bumi, kadang gue bahkan merasa guru/dosen di depan kelas bicara pake bahasa manusia yang udah punah.
Gue pun mengakui, kesuksesan tidak dijamin dari kesuksesan akademik di sekolahan, dan kualitas manusia tak diukur dari tingginya pendidikan.

Tapi, sudah saya sebutkan sebelumnya, kalau ada kesempatan untuk belajar lebih, mengapa harus membatasi diri. Gue sangat-sangat menghargai, orang-orang yang 'drop out' dari pendidikan formalnya untuk mengejar dan mendalami bidang lain yang menjadi 'passion'nya. Gue bahkan mengagumi mereka.
Tapi, untuk mereka yang sengaja membolos hanya untuk nangkring di pojokan mana sambil melakukan hal-hal yang merugikan, gue bener-bener gemes.

Gratis loh, masih gratis untuk tingkat pendidikan menengah pertama, bahkan beberapa tingkat menengah atas juga gratis.

Dan yang paling bikin bingung, ketika biaya pendidikan tinggi, semua turun ke jalanan untuk protes, tapi yang udah dikasih gratisan malah disia-siakan.

Sungguh disayangkan.

Tidak ada komentar:

About Me

Foto saya
Bandung, West Java, Indonesia
Thinking crazy, weird and uncommon is not a crime!