"Yang gratisan tuh yang paling enak"
"Gratis ini, nothing to lose lah"
Kalimat-kalimat di atas, cukup akrab ditelinga, apalagi semenjak memasuki kehidupan mahasiswa yang maha irit. Haha..
Selama ini, kalimat-kalimat tentang 'gratisan' gak pernah terlalu
menggelitik untuk gue bahas. Tapi, suatu kejadian di suatu sore yang
cerah, membuat gue tertarik.
Kejadiannya begini, adik gue yang saat ini kelas 6 SD, ngambek dan
menolak setengah mati, waktu disuruh belajar. Sampe nangis-nangis.
Padahal, gue dengan bersemangat bersedia untuk jadi tutor dia,
disela-sela waktu gue yang sangat langka ada di rumah. Gue tau, dia
memang pintar dan kemampuan belajarnya jauh di atas rata-rata. Tapi,
practice makes perfect, right? Selama bisa belajar lebih kenapa harus
membatasi diri? Lagian jarang-jarang gue ada di rumah dan jadi tutor
dia.
Karena sampai terjadi pertumpahan air mata, akhirnya emak turun
lapangan. Dengan bijak beliau berkata pada ade gue, "Iel, untung loh..
Orang-orang berani bayar mahal kakak untuk ngajarin. Iel gratisan malah
nggak mau."
Dari situ, gue tertarik sama kata 'gratisan'. Gue jadi teringat sama
makhluk-makhluk yang ngakunya pelajar tapi saat jam sekolah malah
nongkrong di sudut-sudut tertentu sambil bakar rokok dengan gaya paling
oke sedunia. Padahal masih pake celana biru atau abu-abu, bahkan
beberapa masih merah.
Pemerintah udah netapin program 'wajar 9 tahun' dan katanya akan
dikembangkan jadi 'wajar 12 tahun', which is mean, sekolah gratis untuk
semua sekolah negeri dari tingkat dasar sampai menengah pertama.
GRATISAN cooy.. Tapi, kelihatannya malah menghilangkan tanggung
jawab ya. Mungkin, beberapa berpikir 'nothing to lose' kali ya.. Karena
gratis, tak ada beban yang ditanggung.
Karena gratis, ya santai aja, orang tua juga ga akan nuntut apa-apa.
Karena gratis, tenang saja, nambah setahun lagi juga ga rugi-rugi amat.
Karena gratis...
Sejujurnya, tiap kali bertemu dengan pelajar tipe itu, gue pengen
nimpuk kepala mereka pake telur, sambil bilang "Ini kepala isinya apa
sih?" Tapi, berapa banyak telur yang bakal gue butuhkan? Mungkin
persediaan telur kota bandung untuk satu tahun pun ga cukup. Karena
populasi makhluk yang ngakunya pelajar itu terlalu banyaaaak.
Gue bukan mau bilang bahwa pendidikan dan bersekolah itu diatas
segalanya, kok. Secara jujur gue juga mengakui, kadang di kelas gue ga
dapet apa-apa, kadang yang gue dapet juga cuma teori-teori yang nggak
napak bumi, kadang gue bahkan merasa guru/dosen di depan kelas bicara
pake bahasa manusia yang udah punah.
Gue pun mengakui, kesuksesan tidak dijamin dari kesuksesan akademik
di sekolahan, dan kualitas manusia tak diukur dari tingginya pendidikan.
Tapi, sudah saya sebutkan sebelumnya, kalau ada kesempatan untuk
belajar lebih, mengapa harus membatasi diri. Gue sangat-sangat
menghargai, orang-orang yang 'drop out' dari pendidikan formalnya untuk
mengejar dan mendalami bidang lain yang menjadi 'passion'nya. Gue bahkan
mengagumi mereka.
Tapi, untuk mereka yang sengaja membolos hanya untuk nangkring di
pojokan mana sambil melakukan hal-hal yang merugikan, gue bener-bener
gemes.
Gratis loh, masih gratis untuk tingkat pendidikan menengah pertama, bahkan beberapa tingkat menengah atas juga gratis.
Dan yang paling bikin bingung, ketika biaya pendidikan tinggi, semua
turun ke jalanan untuk protes, tapi yang udah dikasih gratisan malah
disia-siakan.
Sungguh disayangkan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
About Me
- Fleur
- Bandung, West Java, Indonesia
- Thinking crazy, weird and uncommon is not a crime!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar